Cerpen : Menggenggam Mimpi



Sebut saja aku pemimpi sekaligus pecundang. Aku berani bermimpi setinggi langit, tetapi implementasinya nihil. Ini bukan soal cita-cita, kalo dalam hal itu aku layak disebut pemenang.

Perihal gadis yang menggetarkan hatiku, aku terpana pada pandangan pertama. Bahkan sampai kini dia mengendap dalam relung hatiku. Gadis itu bermata indah, supel, lincah namun tampak misterius bagiku. Seolah menyimpan rahasia yang ingin aku pecahkan.

Belum lagi aku sanggup mengumpulkan keberanian mendekatinya, waktu telah berakhir bagi pertemuan rutin di sekolah. Aku dan dia dihadapkan pada perpisahan dan pilihan sekolah yang berbeda.

Cinta ini belum juga mengukirkan kisah indahnya. Hanya kisah pilu yang semakin mendera yang terasa. Oleh karena di setiap masa, yang ada dibenak adalah sedang apakah dia di sana? Mungkin sedang merajut kisah asmara bersama tambatan hatinya. Itu membuat mimpiku porak poranda bagai digulung gelombang tsunami.

Keindahan Sindoro dan Sumbing yang menjulang itu seolah memperolok diriku. Seolah memamerkan keberanian dan kekokohannya. Namun Sindoro-Sumbinglah yang menyaksikan bagaimana pecundang ini mencari celah dan celah untuk sekadar bertemu dan mengucap hai.

Dia bagai ditelan bumi, ribuan salam yang kutitipkan tak jua berbalas. Usaha menemuinya pun tak kunjung menunjukkan hasil. Dia ada namun tiada bagiku, seolah semesta menyeliputinya dengan kabut hingga menutupi pandanganku atasnya.

Rindu ini tak jua mati, cinta ini tak jua punah. Aku mencoba mengukir lembaran bersama gadis lain yang kutemui. Aku berhasil bertahan, membina kasih dan sayang. Aku herankan cinta untuknya masih bertengger meskipun terlampau banyak kisah yang telah kulewati di sini.

Aku memang pecundang, aku hanya menggenggam mimpiku erat-erat. Aku hanya menyebutnya dalam doaku, semoga aku dipertemukan dengannya. Semoga aku memiliki masa-masa indah bersamanya.

Hingga ujung waktu yang akhirnya aku menikah dengan yang lain. Aku pun tak pernah sekali pun berani mendatangi rumahnya dan mengutarakan semua yang tersimpan rapat di hati. Aku masih menggenggam mimpi itu, entah sampai kapan. Mungkin hingga nafasku terhenti.

"Hai Pandu," sapa Atika.
"Hai," jawabku spontan.

Aliran darahku seperti terpompa begitu kencang saat aku bertemu pandang dengannya. Tubuhku terasa tak bertulang, dengan degub jantung yang nyaring. Atika dengan gamis ungu berhiaskan renda putih, berdiri tepat di depanku. Jilbab bernuansa bunga kecil-kecil itu menambah keanggunannya.

"Lama tak berjumpa ya, apa kabarmu?" tanya Atika kepadaku, ia tak menyadari bahwa aku tak sanggup berkata-kata.
"Baik, belasan tahun rasanya tak bertemu," ujarku cepat.

Aku memang berkali-kali memohon pada-Nya untuk dipertemukan dengan Atika, yang menyita ruang hatiku. Menyegelnya hingga bergitu banyak kerinduan membimbangkan langkahku.

Percakapan pun bergulir tak menentu arahnya, banyak hal kami bicarakan. Begitu banyak kisah yang ingin kudengarkan. Seolah merakit puing-puing puzzle menjadi cerita yang utuh.

Hatiku bergetar tak keruan ketika mengetahui bahwa dirinya masih single, belum menemukan pasangan yang cocok. Aku mengurungkan niat ketika ingin mengabarkan bahwa aku telah menikah.

Aku merasa kesempatan begitu terbuka untukku, untuk mengungkapkan cinta dipertemuan yang tak terduga ini. Kami mendapatkan tugas yang sama untuk mengikuti pelatihan seminggu.

Begitu sering aku melihat senyum tersungging di bibir Atika. Membuatku serasa dimabuk kepayang. Memang cintaku padanya tak terbatas waktu. Akan teapi sudah tidak benar jika aku berhasrat memilikinya.

"Tika, bolehkan aku menyimpan nomer ponselmu?" tanyaku canggung ketika pelatihan telah selesai.
"Tentu boleh, o iya, makasih ya Pandu, berkatmu pelatihan ini jadi penuh semangat," tuturnya padat.
Aku hanya mengangguk.
"Sampai ketemu lagi ya," lanjutnya sambil melambaikan tangan.

Aku melambaikan tangan dan segera menyimpan nomor ponsel Atika. Aku mematung, haruskah kuteruskan komunikasi ini? Aku ingin sekali menyampaikan isi hatiku padanya, entah kapan. 
 
Sebulan berlalu.

"Atika, ini aku Pandu " chatting-ku mengawali.
"Terima kasih sudah mengirimkan pesan, pesan anda akan segera dibalas, mohon bersabar." Automatic replay.

Selang 30 menit kemudian, ponselku berbunyi, ada chatting WhatsApp masuk.

"Hey, maaf tadi aku sedang meeting, jadi tidak bisa membalasnya," ketiknya.
"Orang sibuk ya begitu," balasku.
"Kok baru chatting sih, kupikir akan menghilang lagi." Jawab Atika.
"Bukannya kamu yang menghilang," sahutku tak terima.
"Seingatku dulu, suka mengirimiku salam tapi tidak nampak batang hidungnya hingga kemarin," jawabmu, bagaikan skak mat bagiku.

Mendadak napasku memburu, dadaku berdegup kencang. Inilah kesempatanku membuka celah yang sulit untuk aku mulai dari pertemuan kemarin. Rasanya untuk sekadar mengakui aku jatuh hati, kendur sudah nyaliku.

"Sampaikah ribuan salam yang kukirim waktu itu?" sahutku.
"Iya," tapi aku tak kuasa menitipkan balasannya," tukasnya.
"Kupikir akan datang dengan segepok bunga di hadapanku, baru nanti aku menjawabnya," lanjutnya, membunuhku.

Sesaat rasanya ingin kembali ke masa itu dan memberanikan diri, menampakkan diri dan menghilangkan ketakutanku akan kekecewaan. Aku benar-benar merasa menjadi pecundang seumur hidup.

"Maafkan aku, aku tak berani menemuimu," akuku padanya.
"Mungkin itu salahku juga, kupikir dengan mendiamkan salam itu, akan membuatmu menghampiriku." jawabmu terkesan sendu.
"Tapi kamu sudah menawan hatiku hingga saat ini. Maaf jika terlalu lambat dan tak berguna, cintaku padamu bergeming. Seolah mengakar, aku tak kuasa meredamnya barang sebentar," ungkapku panjang.

Ada rasa plong yang teramat sangat ketika berhasil merangkai kata itu dan mengirimkan. Seolah ada ribuan ampere arus listrik mengalir dari hatiku melalui tulisan itu. Entah apa yang akan terjadi nanti aku tak peduli.

"Aku rasanya ingin menangis membaca pesan ini, betapa kata-kata ini yang ingin sekali kudengar. Hingga aku tak berani menatap masa yang akan datang." jawabnya menyentuh hatiku.

Tatkala aku menjadi manusia paling bodoh sedunia. Apa yang kutakutkan dahulu, ternyata sama sekali tak beralasan. Harusnya aku berjuang sedikit saja, tetapi tidak kulakukan. Penyesalan yang teramat dalam, bukan karena aku telah menikah. Sebab aku menyiksa hidupnya, aku yang konon mencintainya begitu dalam.

Lalu apa yang harus kuperbuat sekarang, jalinan cinta telah terajut, arus cinta kami bertemu di titik ini. Dengan besar muatan yang tak terbendung, namun aku harus menuntaskan kisah ini. Tidak mengulangi ketakutanku dan menyusahkannya lagi.

"Tapi Tika, I have a big problem. Entah aku sanggup mengatakannya atau tidak. Tapi aku tak ingin menjadi pecundang untuk kedua kalinya," sergahku agar aku segera bisa mengungkapan yang sebenarnya terjadi.
"Dan aku ingin mengatakannya langsung, jika kamu mengizinkan," tanyaku meminta pendapatnya.

Lama tak ada jawaban, aku bingung, apakah aku harus mengetik pertanyaan lagi, atau bersabar menunggu jawaban. Kebahagian yang baru saja kurasakan itu, aku belum pernah merasakannya. Lalu aku sendiri yang akan menyerakkan gelora itu. Rasanya tak rela, aku ingin merasakan bahagia semacam ini, lebih lama lagi. Atau bahkan selamanya.

Berbunga-bunga, penuh semangat juga rasa plong berbaur menjadi rasa baru yang tak mampu kudefinisikan secara tepat. Di saat yang sama aku harus menyampaikan bahwa aku sudah tidak sendiri. Betapa seharusnya tak perlu ada pertemuan di antara kami.

Aku menyiapkan dinner paling romantis, bucket bunga mawar merah segepok. Die mengandaskan cinta. Mengaramkan bahtera yang tak sanggup aku nahkodai. Aku hanya ingin Atika tahu, bahwa dirinya begitu berarti untukku.

Bahwa perjumpaan dengannya bukan ketidaksengajaan. Namun skenario-Nya dan jawaban dari doaku terdahulu. Senyum tampak tersungging di bibir Atika dari kejahuan. Aku berdiri menghampirinya. Ia tak sendiri, kulihat adiknya menemani dan memilih duduk di bangku lain yang tak jauh dari kami duduk.

Bibirku terasa kelu, seolah ingin membatalkan apa yang telah kurencanakan.

"Atika, maafkan aku ya, aku membuatmu menunggu tanpa kejelasan. Aku merasa tak layak untuk di cintai sedalam itu. Taukah kamu sejak hari itu aku merasa hariku jauh berarti dari sebelumnya. Aku sangat bahagia. Terima kasih untuk itu." Ucapku padanya.

"Aku mengatakan bahwa aku memiliki masalah yang besar 'kan kemarin. Aku akan menjelaskannya kepadamu. Tapi biarkan aku mengatakan hal ini dulu. Kamu sangat berarti, kamu selalu di hatiku, dulu sekarang dan nanti. Aku tak mungkin sanggup menghapusnya dari dalam hatiku," lanjutku.

Aku menunduk, seolah air mata hendak tumpah, aku malu. Ya Allah, terima kasih engkau telah menghadirkan rasa cinta yang sangat membahagiakan ini. Semoga hati kami terus berpaut pada-Mu, hingga tak menyebabkan kerusakan di muka bumi ini, batinku. Aku menghela nafas panjang.

"Seperti keajaiban saat bisa bertemu denganmu, berkali-kali aku mengucapkan syukur. Atika, maafkan aku jika apa yang akan kusampaikan menimbulkan masalah di antara kita." desisku lirih.

Aku merasa tak sanggup melanjutkan, ada getir dan perih. Seakan menikam ulu hatiku, hingga membuatku tak sanggup berkata-kata. Aku menatapnya sekilas lalu merunduk lagi. Seperti monolog, Atika sabar menanti lanjutan kalimatku tanpa memotong.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mengairi rongga dadaku dengan oksigen agar himpitan yang menyesakkan ini bisa menyingkir. Rasa welas asih serta cinta yang begitu dalam membuatku merasa amat bersalah. Meskipun ini mutlak sekenario-Nya.

"Desiran hebat tiap kali melaju di depan kampungmu, celingukan kalau saja aku berpapasan denganmu. Betapa naifnya aku. Atika maaf ya, beberapa minggu sebelum pertemuan kita aku baru saja menikah," ucapku sambil menitikan air mata.

"Itulah yang ingin kuucapkan sejak awal, tapi aku tak bisa," curahku padamu sambil tetap tertunduk.

Ingin sekali menatap wajahnya, melihat ekspresi wajah Atika, namun aku tak kuasa.

"Inilah hidup," jawab Atika sendu.
"Aku menantimu hingga saat ini, aku merasa sangat lega mendengar semuanya. Mengetahui bahwa aku berarti bagimu, rasanya penantianku ini tidak pernah sia-sia," gumamnya.
"Aku pun lega bisa menyampaikan bahwa kamulah laki-laki yang sudah membuatku sanggup menunggu," tuturnya lagi.
"Aku mencintaimu, dan untuk memilikimu memang diperlukan izin-Nya," ungkapnya
"Apa yang mengganjal dalam hati kita sudah terlepas bukan, aku merasa lebih ringan memandang masa depanku kini," ucapnya optimis.

Atika berhasil mengusai hatinya, dia tak membiarkan ucapanku merobek hatinya. Terlihat kepasrahan pada Rabb-nya luar biasa. Dia sama sekali tak menyalahkanku.

"Ya sudah, apa mau dikata, semuanya sudah jelas sekarang. Itu bukan masalah besar lagi 'kan?" kata Atika kepadaku.

Aku menatap tepat pada bola matanya yang jernih, aku ingin memastikan bahwa tambatan hatiku ini benar baik adanya. Ingin menilik ke dalaman hatinya, melalui binar matanya. Iya aku menemukan jawaban, bahwa ia sanggup melalui ini.

"Maafkan aku Tika," ucapku lagi.
"Andai waktu bisa diputar kembali," lanjutku tak rela.
"Ga boleh bilang begitu, aku baik-baik saja. Ini artinya aku sudah boleh berhenti menantimu bukan?" tanyamu menyergapku.
"Iya," jawabku gamang, aku ternyata yang tak rela mendengar ucapannya.

Kulihat punggungnya bergerak menjauh, bersama adiknya ia meninggalkanku sendirian. Aku mencubit pipiku sendiri, seolah tak percaya. Seolah hanya mimpi yang tak bisa terulang.

Seperti kehilangan tulang rusuk, nyeri sekali rasanya.
Sukma (lantanaungu.com)
Lantana Ungu adalah seorang Ibu dengan dua orang putri, menyukai dunia literasi dan berkebun. Memiliki 11 karya antologi dan sedang ikut serta dalam beberapa proyek buku antologi. Sangat tertarik dengan dunia parenting, terutama parenting Islami. Email Kerja Sama: sukmameganingrum@gmail.com

Related Posts

2 komentar

  1. Supeer bangeeet... Mbak mega... Lope2 dah ah... 😍😘😘😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siapakah ini? Jadi penisirin. Makasih ya udah mampir di blog aku.

      Hapus

Posting Komentar